Sekat-sekat yang Membelenggu - Catatan Kecil

Minggu, 05 Juni 2011

Sekat-sekat yang Membelenggu


Sore itu, di kampus saya, saya berdiskusi dengan beberapa teman. Kami membicarakan tentang program Indonesia Mengajar. Indonesia Mengajar merupakan program yang digagas oleh Bung Anies Baswedan, yaitu program yang mengirimkan putra-putri terbaik kita yang memperoleh gelar sarjana untuk dikirim ke pelosok Indonesia untuk mengajar selama satu tahun. Lalu salah satu teman saya menceletuk,”Ah, kalau aku ga mau ikutan. Otakku terlalu pintar untuk ditipu program liberal berkedok kemanusiaan.” Saya bingung akan maksudnya, lalu bertanya”Maksudmu program liberal berkedok kemanusiaan?” Lalu dia menjelaskan bahwa Pak Anies itu orang didikan amerika, penyebar paham liberal, pemimpin universitas yang menyuplai orang-orang liberal dan sebagainya. Dan saya meyakini alasan yang diungkapkan itu hanya dugaan, karena dia sendiri tidak bisa memberikan bukti bahwa Indonesia Mengajar itu program penyebar paham liberal

Dalam tulisan ini saya tidak akan mebahas apakah program Indonesia Mengajar merupakan program liberal atau bukan. Biarlah masyarakat yang menilai secara cerdas. Tapi yang saya soroti adalah, sikap kawan saya itu. Sebagian dari kita yang masih mempertimbangkan sekat-sekat semu dalam melakukan proyek perbaikan bangsa. Ketika kita berbicara proyek kemanusiaan, sebagian dari kita masih suka memperdebatkan perbedaan ideologi. Ketika kita akan membuat narasi besar tentang pembangunan bangsa ini, sebagian dari kita masih meliarkan rasa curiga dan prasangka di antara kita sendiri. Ketika keadaan bangsa semakin kritis, sebagian dari kita masih menyalahkan ideologi yang dianut bangsa ini. Lalu, ketika kita akan membangun bangsa ini, bisakah kita akan berhasil, kalau budaya buruk sangka masih menggelayuti setiap langkah dan karya kita. Mau sampai kapan Kawan??

“Kalau dulu, dengan semangat anti kolonialisme, Soekarno pernah menggabung bangsa-bangsa terjajah menjadi satu gerakan internasional, maka sekaranglah giliran kita. Seharusnya kita mewarisi semangat itu agar di antara kita tidak dibuat terpecah oleh masalah-masalah kecil. Supaya kita tidak bertengakar oleh perkara yang tidak membuat bangsa kita besar.” kata Anis Matta.

“Peradaban-peradaban besar adalah karya akumulatif antar generasi. Bangsa kita ini tidak akan pernah berdiri hanya dengan darah satu orang, hanya dengan air mata satu orang, hanya dengan ide satu orang” lanjutnya.

Sudah lama bangsa ini terpuruk dalam keadaan yang menyedihkan. Ketika bangsa lain sudah berbicara tentang pembangunan, masyarakat masih sibuk membicarakan sekat-sekat yang sebetulnya tidak ada. Lalu mereka mengada-adakan sendiri. Ketika bangsa lain sudah menebar optimisme kepada seluruh warga dunia, media tanah air kita masih menayangkan kekerasan-kekerasan yang terjadi di masyarakat.

Dampaknya Luar Biasa

Apa yang terjadi jika masalah disintegrasi kita biarkan berlarut terus-menerus? Dampaknya akan luar biasa. Hal yang pertama muncul adalah lambatnya pembangunan bangsa ini. Bisa kita bayangkan jika para pemikir hebat bangsa ini tidak bisa bersatu. Mereka bagaikan lidi kualitas terbaik yang tercecer tanpa ada yang mengikat. Lidi kualiatas seperti apapun kalau tidak diikat menjadi satu, dia tidak akan pernah membersihkan dengan cepat. Dampak yang kedua adalah kekerasan muncul di mana perbedaan itu tidak ditangani dengan baik. Masyarakat kita pada dasarnya merupakan masyarakat yang santun, tetapi akan menjadi anarkis luar biasa jika tersulut oleh konflik yang melibatkan prinsip hidup mereka. Kekerasan ini tidak hanya melibatkan orang dewasa saja, tetapi sangat memungkinkan kekerasan melibatkan anak-anak sebagai pelaku atau korban. Tentu akan berdampak kepada ketentraman dan kesejahteraan masyarakat. Dampak yang ketiga adalah dampak yang paling berbahaya, yaitu bangsa ini akan melahirkan generasi yang cinta kekerasan pula. Bagaimana tidak, jika media memborbardir generasi muda kita berita tentang kekerasan atas nama perbedaan. Tambah parah jika pelaku kekerasan itu merupakan orang terdekat mereka. Dengan sendirinya akan terbentuk generasi yang cinta kekerasan. Dari generasi ini akan timbul lagi generasi cinta kekerasan yang kedua. Dan ini akan berlangsung terus menerus dan akan membentuk lingkaran setan jika tidak ditangani dengan baik.

Bukan Menyeragamkan tetapi Mengeloloa Keberagaman

Memang kita tidak bisa hindari bahwa masyarakat mempunyai cara pandang masing-masing. Apalagi dengan arus informasi yang semakin terbuka mendorong pemahaman tentang sudut pandang kebangsaan semakin beragam. Banyak ideologi baru masuk ke Indonesia, walau sejarah telah mengatakan, bangsa ini lebih memilih Pancasila sebagai dasar bernegaranya. Kita memang tidak bisa menyatukan keberagaman itu menjadi satu karena itu memang hal yang mustahil. Tetapi setidaknya kita bisa mengelola keberagaman itu menjadi kekuatan bangsa ini. Apa yang bisa kita lakukan? Sebenarnya kita bisa mulai dengan hal-hal yang sederhana karena disintegrasi itu muncul dari mindset yang salah. Yang harus kita rubah adalah cara memandang keberagaman itu sendiri.

Ada cara sederhana yang diungkapkan oleh Irfan Amalee. Pertama kita harus mengubah cara pandang terhadap diri sendiri kita. Kedua kita harus membereskan cara pandang perbedaan kita terhadap orang lain. Dan yang ketiga adalah membereskan konflik terhadap orang lain.

Saatnya Kita Berubah

Marilah kita flashback sejenak ke masa lalu kita dimana kita masih kecil. Mungkin sekitar TK atau SD. Pada saat itu, pernahkah kita mempeributkan agama ketika kita akan bermain? Pernahkah kita mempertanyakan ideologi teman kita waktu kita akan pergi bersama-sama? Apakah Anda pernah mengalami kekerasan atas nama agama? Saya masih ingat ketika saya masih kecil, saya sering bermain beberapa permainan tradisional seperti dakon, bentengan, kelereng, petak umpet dan sebagainya. Tapi sekalipun saya dan kawan-kawan saya tidak pernah memilih-milih rekan satu tim (jika permainan berkelompok) atau lawan bermain dengan mempertimbangkan suku, agama, ras, ideologi dan sebagainya. Semua mengalir begitu saja. Lalu dalam dewasa ini, mengapa sebagian dari kita malah mempeributkan hal-hal tersebut?

Mungkin sebagian dari Anda setuju dengan saya bahwa, masa anak-anak adalah masa yang paling netral ketika kita bergaul dengan sesama. Seharusnya kita yang sudah dewasa ini mencontoh beberapa prinsip-prinsip yang dipakai anak-anak. Dalam membangun bangsa ini, rasanya kita tidak lagi pantas mempertimbangkan hal-hal yang membelenggu. Rasanya kita perlu megembangkan semangat menghargai orang lain. Menyadari bahwa disamping kita bekerja ada orang lain yang bekerja. Kita perlu keluar dari belenggu identitas kita, lalu bertemu dalam satu lapangan pembangunan bangsa. Di lapangan itu, biarlah kita memakai baju kita masing-masing dengan warna yang berbeda-beda. Tidak perlu diseragamkan, karena keberagaman suku, agama, ras, dan ideologi merupakan harta yang berharga bagi negeri ini. Walaupun warna baju kita berbeda-beda kita tetap mempunyai semagat yang sama, karena hanya ada satu kata, INDONESIA!!!

3 komentar:

  1. Yo, aku inget aku pernah baca tentang, sebenarnya semua perubahan yng terjadi saat ini lebih karena media. dulu jarang pembunuhan karena belum ada acara berita di TV. itu contoh simplenya kan.
    Kaya Presiden Amerika, lupa namanya, yang bilang gpp dia gak boleh menguasai atau apa, asal dia boleh tetep ngirimkan hasil film produksi negaranya.
    medianya ada, dipermudah untuk melakukan perubahan ideologi atau apalah. yang menurutku kurang tepat, yang sangat disayangkan, medianya terlalu berburu hal-hal yang kurang baik buat diberitakan. emang ada pentingnya sih, tapi pemberitaan berlebihan untuk hal kecil juga berefek berlebihan juga gak sih?
    Dan kalau menurutku, menyeragamkan yang besar bisa dimulai dri yang keciiil ayeyaay. Kasih contoh temenmu gimana buat berkontribusi. dengan memulainya dari diri sendiri juga :d

    BalasHapus
  2. "we are not hate the people,we hate the ideology" saya sepakat dengan programnya tentang pengajaran dsbnya.hehe..tapi saya ga suka ama ideology dibelakangnya :)

    BalasHapus
  3. Begitulah kenyataannya. Slogan bhineka tunggal ika yang 'dicekokin' ke anak-anak nampaknya hanya sebatas slogan saja.

    Permasalahannya cukup sederhana kalo saya pikir berdasarkan pengalaman pribadi: ada rasa syirik dan rasa jahat saat orang lain lebih baik dari kita. contohnya saat saya jadi pengawas untuk suatu kepanitiaan yang dlu pernah saya ikutin juga: rasa syirik itu sepertinya besar banget. Tp alhamdulillah, saya cepet ngerti. Itu nggak baik.

    Dan (mungkin) saudara-saudara kita yang lain masih belum ngerti juga. Atau pura-pura nggak ngerti. Entahlah

    BalasHapus